KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN INTELEKTUAL
Oleh:
Camila Muhlisya
A.
PENDAHULUAN
Tidak
asing di zaman sekarang ini kita mendengar istilah ‘kompetensi’. Apa kompetensi
itu? Kompetensi merupakan kebulatan penguasaan pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja. Undang-undang guru
dan dosen No. 14 tahun 2005, dan PP No 19/2005 menyatakan kompetensi guru
meliputi kompetensi kepribadian, pedagogik, professional,
dan sosial. Adapun pedagogik itu sendiri adalah bimbingan yang diberikan dengan sengaja oleh
orang dewasa kepada anak atau orang lain yang belum dewasa, disebut pendidikan
(pedagogik). Dalam bentuk lain, pedagogik itu
dipandang sebagai suatu proses atau aktifitas yang bertujuan agar tingkah laku
manusia mengalami proses tersebut mendapat perubahan. Tingkah laku seseorang
adalah setiap respons yang dapat dilihat atau diperlihatkan oleh orang lain. Disamping
itu pedagogik juga merupakan suatu ilmu, sehingga orang menyebutnya
ilmu pedagogik. Ilmu pedagogik adalah ilmu yang membicarakan masalah atau
persoalan-persoalan dalam pendidikan dan kegiatan-kegiatan mendidik, antara
lain seperti tujuan pendidikan, alat pendidikan, cara melaksanakan
pendidikan, anak didik, pendidik dan sebagainya.[1] Intelektual
ialah orang yang menggunakan inteleknya untuk bekerja, belajar, membayangkan,
mengagak, atau menyoal dan menjawab soalan tentang berbagai-bagai ide.[2]
Jelas sekali bahwa, peran pedagogik dan intelektual dalam ilmu
pendidikan itu sangat perlu. Apalagi bagi seorang guru ataupun pembimbing dalam
membimbing anak untuk belajar. Karena dengan adanya pedagogik itu seperti yang
telah dipaparkan penulis diatas, agar tingkah laku manusia mengalami proses
perubahan. Hal ini membutuhkan peran seorang guru atau pembimbing tersebut agar
anak yang dibimbing menjadi lebih baik. Serta memiliki intelektualitas yang dimana
dapat berpikiran lebih luas dalam pemikirannya.
Mengapa kompetensi pedagogik dan intelektual di dalam pendidikan
itu sendiri sangat diperlukan? Dan bagaimana cara kita menerima pendidikan itu?
Maka dari itu, Allah SWT menciptakan manusia dengan pendengaran, penglihatan
serta hati nurani untuk digunakan dalam berpendidikan. Lantas, bagaimana dengan
mereka yang tidak mau mendengarkan ataupun tidak menggunakan ni’mat tersebut? Sebagaimana
yang telah tertera dalam Al-Qur’an.
B.
PEMBAHASAN
Pendidikan itu memerlukan peran
pedagogik dan intelektual sebagai peran pendukung di dalamnya. Adapun peran
pendukunya tersebut yaitu panca indera seperti, pendengaran, penglihatan serta
hati nurani pun juga berperan dalam kompetensi pendidikan. Manusia itu
dilahirkan ke dunia dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Maka dari itu,
pendidikan yang berupa ilmu itu dibutuhkan oleh manusia agar bisa mengetahui
segala sesuatunya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nahl ayat 78:
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ شَيئًا
وَجَعَلَ لَكُمْ السَّمْعَ وَالاَبْصَارَ وَالأَفْلإِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu
bersyukur.”
Dalam ayat
ini, jelas bahwa Allah menciptakan manusia ke dunia ini dalam keadaan tidak
mengetahui apapun. Sebuah peristiwa ghaib yang dekat, tetapi ia cukup jauh
mendalam. Proses kejadian janin bisa jadi terdeteksi oleh manusia. Akan tetapi,
mereka tak tahu bagaimana proses itu bisa terjadi, sebab ia merupakan rahasia
kehidupan yang tersembunyi. Ilmu yang selama ini diakui manusia dan ia merasa
tinggi dengannya sehingga ia ingin menguji kebenaran peristiwa hari kiamat dan
alam ghaib lainnya, adalah ilmu yang dangkal yang baru saja ia peroleh, sebab, “Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa
pun..”. Tuhan yang melahirkan para pakar dan para peneliti, dan
mengeluarkannya dari perut ibunya dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa adalah
Maha Dekat sekali! Setiap ilmu yang ia dapatkan sesudah itu, semuanya adalah
anugerah dari Allah sesuai ukuran yang dikehendaki-Nya untuk kepentingan
manusia dan untuk mencukupi keperluan manusia untuk hidup di muka bumi ini, “Dia
memberi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati.” Dalam bahasa Al-Qur’an,
hati terkadang diungkapkan dengan kata qalbu atau dengan kata fu’aad,
untuk menjelaskan setiap alat (organ) pemahaman pada diri manusia. Hal ini
meliputi apa yang diistilahkan dengan akal, juga potensi inspiratif (ilham)
pada diri manusia yang tersembunyi dan tak diketahui hakikat serta cara
kerjanya. Allah memberi pendengaran, penglihatan dan hati itu dalam rangka, “agar
kamu bersyukur.”
Jadi, agar
kamu bersyukur apabila kamu memahami betul nilai yang terkandung pada
ni’mat-ni’mat tersebut dan ni’mat-ni’mat Allah lainnya yang diberikan kepadamu.
Ekspresi syukur yang pertama adalah dalam bentuk beriman kepada-Nya sebagai
Sesembahan Yang Maha Esa.[3]
Begitulah
Allah menciptakan manusia dimana pada awalnya tidak mengetahui apa-apa, lalu
Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh ciptaan-Nya , lalu memberikan ia
pendengaran, penglihatan serta hati, sebagaimana Allah SWT telah berfirman
dalam QS. As-Sajdah (32): 9,
ثُمَّ سَوَّىهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ
وَالْاَبْصَارَوَالأَفْئِدَةَ قَلِيْلاً مَّاتَشْكُرُوْنَ
Artinya: “Kemudian
Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan
Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit
sekali kamu bersyukur.”
Dari kata وَجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَوَالأَفْئِدَةَ ,bahwa Dia (Allah) memberikan ni’mat kepada kalian,
karena itu lalu Dia memberikan kepada kalian pendengaran yang dapat kalian
pakai untuk mendengar suara-suara, dan penglihatan untuk kalian pakai melihat
barang-barang yang dapat dilihat, dan qalbu (hati) yang dapat kalian pakai
untuk membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk, serta mana yang
haq, dan mana yang bathil.[4]
Selanjutnya,
tergantung bagaimana manusia itu menggunakan ni’mat-ni’mat yang diberikan Allah
kepadanya. Apakah mereka gunakan dengan baik, atau pun mereka mau menggunakan
pendengaran, penglihatan serta hati tersebut? Pada hakikatnya, tidak semua
manusia menggunakan apa yang diberikan Allah tersebut sesuai tempatnya.
Maksudnya, mereka yang tidak menggunakan ni’mat-ni’mat tersebut seperti
meniadakannya maupun tidak dapat memanfaatkannya. Dimana pada akhirnya nanti
mereka menyesalinya karena tidak menggunakan nya dengan baik. Seperti tertera
dalam QS. Al-Mulk (67): 10,
وَقَالُوْالَوْكُنَّانَسْمَعُ أَوْنَعْقِلُ مَاكُنَّافِيْ أَصْحَابِ
السَّعِيْرِ
Artinya: Dan
mereka berkata, “Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang
menyala-nyala.”
Penjelasan
dari kata نَسْمَعُ أَوْنَعْقِلُ ini, mereka mengatakan, “Sekiranya kami
mempunyai akal dan memanfaatkannya, atau kami mempunyai telinga yang
mendengarkan kebenaran yang diturunkan oleh Allah, tentu kami tidak akan berada
dalam kekafiran terhadap Allah dan tidak tertipu dengan kelezatan yang di
dalamnya kami bergelimang ketika di dunia, sehingga kami dipenuhi murka dan
amarah Tuhan kami, serta tertimpa siksa-Nya yang pedih”. Mereka menidakan
pendengaran dan akal dari diri mereka sendiri, untuk melenyapkan keduanya yang
bagaikan tiada pada mereka, karena mereka tidak dapat memanfaatkannya.
Ringkasnya, mereka mengatakan, “Seandainya kami mendengar ucapan dari pemberi
peringatan itu dan menerimanya, karena ucapannya itu tampak dan kami
memikirkannya dengan pemikiran yang sadar serta mengamalkannya, tentulah kami
tidak akan berada bersama golongan orag-orang yang disiksa”.[5]
Sesungguhnya,
manusia itu sendiri terbagi menjadi dua golongan yaitu mereka yang berbakti dan
mereka yang durhaka akan ni’mat-ni’mat Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT
berfirman:
إِنَّ الأَبْرَارَلَفِيْ نَعِيْمٍ وَّإِنَّ
الْفُجَّارَلَفِي جَحِيْمٍ
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh)
kenikmatan. Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam
neraka (jahim).” (QS. Al-Infithar [82]: 13-14)
Dijelaskan
pula dalam QS. Al-Muthaffifin ayat 7, bahwa catatan perbuatan orang-orang yang
durhaka telah dicatat dalam sijjin,
كَلَّآإِنَّ
كِتَابَ الْفُجَّارِلَفِيْ سِجِّيْنٍ
Artinya: “Sekali-kali
jangan begitu, sesungguhnya catatan orang yang durhaka benar-benar tersimpan
dalam sijjin,”
Penafsiran kata-kata:
الأَبْرَارَ : bentuk tunggalnya Barr. Artinya, orang yang
melakukan perbuatan baik dan taqwa kepada Allah dalam segala perbuatannya.
الْفُجَّارَ : bentuk tunggalnya Fajir. Artinya, orang yang
meninggalkan syari’at-syari’at Allah dan melanggar batasan-batasan-Nya.
سِجِّيْنٍ : nama sebuah kitab (catatan) yang di dalamnya tertulis
perbuatan orang-orang yang melewati batas untuk di-hisab.[6]
C.
KESIMPULAN
Kompetensi pedagogik dan intelektual di dalam pendidikan itu sendiri
sangat diperlukan sebagai faktor pendukung. Dan Allah menciptakan manusia
dengan pendengaran, penglihatan serta hati nurani untuk digunakan dalam hal
tersebut. Adapun tentang terbaginya manusia itu terbagi menjadi dua golongan
yaitu bararah yang memperoleh kenikmatan dan fajarah yang
memperoleh siksaan serta tesimpan di dalam sijjin.
[1]
http://www.scribd.com/doc/81444995/pengertian-pedagogik#scribd, dipublikasikan oleh Windu Wulan (diakses tgl 30/03/2015)
[2]
http://ms.wikipedia.org/wiki/Intelektual , sumber : JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan
sejaRAH) (diakses tgl 30/03/2015)
[3]
Sayyid Quthb. 2004. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani. Jilid 13,
hal: 307.
[4]
Ahmad Mustafa Al-Maragi. 1992. Terjemah Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya
Toha Putra. Jilid 21, hal: 202.
[5]
Ahmad Mustafa Al-Maragi. 1992. Terjemah Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya
Toha Putra. Jilid 29, hal: 20.
[6]
Ahmad Mustafa Al-Maragi. 1992. Terjemah Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya
Toha Putra. Jilid 30, hal: 121 & 133.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar