Sabtu, 28 Mei 2016

Tafsir Tarbawi



KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN INTELEKTUAL
Oleh: Camila Muhlisya
A.                PENDAHULUAN
Tidak asing di zaman sekarang ini kita mendengar istilah ‘kompetensi’. Apa kompetensi itu? Kompetensi merupakan kebulatan penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja. Undang-undang guru dan dosen No. 14 tahun 2005, dan PP No 19/2005 menyatakan kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian, pedagogik, professional, dan sosial. Adapun pedagogik itu sendiri adalah bimbingan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak atau orang lain yang belum dewasa, disebut pendidikan (pedagogik). Dalam bentuk lain, pedagogik itu dipandang sebagai suatu proses atau aktifitas yang bertujuan agar tingkah laku manusia mengalami proses tersebut mendapat perubahan. Tingkah laku seseorang adalah setiap respons yang dapat dilihat atau diperlihatkan oleh orang lain. Disamping itu pedagogik juga merupakan suatu ilmu, sehingga orang menyebutnya ilmu pedagogik. Ilmu pedagogik adalah ilmu yang membicarakan masalah atau persoalan-persoalan dalam pendidikan dan kegiatan-kegiatan mendidik, antara lain seperti tujuan pendidikan, alat pendidikan, cara melaksanakan pendidikan, anak didik, pendidik dan sebagainya.[1] Intelektual ialah orang yang menggunakan inteleknya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagak, atau menyoal dan menjawab soalan tentang berbagai-bagai ide.[2]
Jelas sekali bahwa, peran pedagogik dan intelektual dalam ilmu pendidikan itu sangat perlu. Apalagi bagi seorang guru ataupun pembimbing dalam membimbing anak untuk belajar. Karena dengan adanya pedagogik itu seperti yang telah dipaparkan penulis diatas, agar tingkah laku manusia mengalami proses perubahan. Hal ini membutuhkan peran seorang guru atau pembimbing tersebut agar anak yang dibimbing menjadi lebih baik. Serta memiliki intelektualitas yang dimana dapat berpikiran lebih luas dalam pemikirannya.
Mengapa kompetensi pedagogik dan intelektual di dalam pendidikan itu sendiri sangat diperlukan? Dan bagaimana cara kita menerima pendidikan itu? Maka dari itu, Allah SWT menciptakan manusia dengan pendengaran, penglihatan serta hati nurani untuk digunakan dalam berpendidikan. Lantas, bagaimana dengan mereka yang tidak mau mendengarkan ataupun tidak menggunakan ni’mat tersebut? Sebagaimana yang telah tertera dalam Al-Qur’an.

B.                 PEMBAHASAN

Pendidikan itu memerlukan peran pedagogik dan intelektual sebagai peran pendukung di dalamnya. Adapun peran pendukunya tersebut yaitu panca indera seperti, pendengaran, penglihatan serta hati nurani pun juga berperan dalam kompetensi pendidikan. Manusia itu dilahirkan ke dunia dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Maka dari itu, pendidikan yang berupa ilmu itu dibutuhkan oleh manusia agar bisa mengetahui segala sesuatunya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nahl ayat 78:
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ شَيئًا وَجَعَلَ لَكُمْ السَّمْعَ وَالاَبْصَارَ وَالأَفْلإِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.”
Dalam ayat ini, jelas bahwa Allah menciptakan manusia ke dunia ini dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Sebuah peristiwa ghaib yang dekat, tetapi ia cukup jauh mendalam. Proses kejadian janin bisa jadi terdeteksi oleh manusia. Akan tetapi, mereka tak tahu bagaimana proses itu bisa terjadi, sebab ia merupakan rahasia kehidupan yang tersembunyi. Ilmu yang selama ini diakui manusia dan ia merasa tinggi dengannya sehingga ia ingin menguji kebenaran peristiwa hari kiamat dan alam ghaib lainnya, adalah ilmu yang dangkal yang baru saja ia peroleh, sebab, “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun..”. Tuhan yang melahirkan para pakar dan para peneliti, dan mengeluarkannya dari perut ibunya dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa adalah Maha Dekat sekali! Setiap ilmu yang ia dapatkan sesudah itu, semuanya adalah anugerah dari Allah sesuai ukuran yang dikehendaki-Nya untuk kepentingan manusia dan untuk mencukupi keperluan manusia untuk hidup di muka bumi ini, “Dia memberi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati.” Dalam bahasa Al-Qur’an, hati terkadang diungkapkan dengan kata qalbu atau dengan kata fu’aad, untuk menjelaskan setiap alat (organ) pemahaman pada diri manusia. Hal ini meliputi apa yang diistilahkan dengan akal, juga potensi inspiratif (ilham) pada diri manusia yang tersembunyi dan tak diketahui hakikat serta cara kerjanya. Allah memberi pendengaran, penglihatan dan hati itu dalam rangka, “agar kamu bersyukur.”
Jadi, agar kamu bersyukur apabila kamu memahami betul nilai yang terkandung pada ni’mat-ni’mat tersebut dan ni’mat-ni’mat Allah lainnya yang diberikan kepadamu. Ekspresi syukur yang pertama adalah dalam bentuk beriman kepada-Nya sebagai Sesembahan Yang Maha Esa.[3]
Begitulah Allah menciptakan manusia dimana pada awalnya tidak mengetahui apa-apa, lalu Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh ciptaan-Nya , lalu memberikan ia pendengaran, penglihatan serta hati, sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam QS. As-Sajdah (32): 9,
ثُمَّ سَوَّىهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَوَالأَفْئِدَةَ قَلِيْلاً مَّاتَشْكُرُوْنَ
Artinya: “Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.”
Dari kata وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَوَالأَفْئِدَةَ ,bahwa Dia (Allah) memberikan ni’mat kepada kalian, karena itu lalu Dia memberikan kepada kalian pendengaran yang dapat kalian pakai untuk mendengar suara-suara, dan penglihatan untuk kalian pakai melihat barang-barang yang dapat dilihat, dan qalbu (hati) yang dapat kalian pakai untuk membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk, serta mana yang haq, dan mana yang bathil.[4]
Selanjutnya, tergantung bagaimana manusia itu menggunakan ni’mat-ni’mat yang diberikan Allah kepadanya. Apakah mereka gunakan dengan baik, atau pun mereka mau menggunakan pendengaran, penglihatan serta hati tersebut? Pada hakikatnya, tidak semua manusia menggunakan apa yang diberikan Allah tersebut sesuai tempatnya. Maksudnya, mereka yang tidak menggunakan ni’mat-ni’mat tersebut seperti meniadakannya maupun tidak dapat memanfaatkannya. Dimana pada akhirnya nanti mereka menyesalinya karena tidak menggunakan nya dengan baik. Seperti tertera dalam QS. Al-Mulk (67): 10,
وَقَالُوْالَوْكُنَّانَسْمَعُ أَوْنَعْقِلُ مَاكُنَّافِيْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
Artinya: Dan mereka berkata, “Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.”
Penjelasan dari kata نَسْمَعُ أَوْنَعْقِلُ ini, mereka mengatakan, “Sekiranya kami mempunyai akal dan memanfaatkannya, atau kami mempunyai telinga yang mendengarkan kebenaran yang diturunkan oleh Allah, tentu kami tidak akan berada dalam kekafiran terhadap Allah dan tidak tertipu dengan kelezatan yang di dalamnya kami bergelimang ketika di dunia, sehingga kami dipenuhi murka dan amarah Tuhan kami, serta tertimpa siksa-Nya yang pedih”. Mereka menidakan pendengaran dan akal dari diri mereka sendiri, untuk melenyapkan keduanya yang bagaikan tiada pada mereka, karena mereka tidak dapat memanfaatkannya. Ringkasnya, mereka mengatakan, “Seandainya kami mendengar ucapan dari pemberi peringatan itu dan menerimanya, karena ucapannya itu tampak dan kami memikirkannya dengan pemikiran yang sadar serta mengamalkannya, tentulah kami tidak akan berada bersama golongan orag-orang yang disiksa”.[5]
Sesungguhnya, manusia itu sendiri terbagi menjadi dua golongan yaitu mereka yang berbakti dan mereka yang durhaka akan ni’mat-ni’mat Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
إِنَّ الأَبْرَارَلَفِيْ نَعِيْمٍ  وَّإِنَّ الْفُجَّارَلَفِي جَحِيْمٍ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan. Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka (jahim).” (QS. Al-Infithar [82]: 13-14)
Dijelaskan pula dalam QS. Al-Muthaffifin ayat 7, bahwa catatan perbuatan orang-orang yang durhaka telah dicatat dalam sijjin,
كَلَّآإِنَّ كِتَابَ الْفُجَّارِلَفِيْ سِجِّيْنٍ
Artinya: Sekali-kali jangan begitu, sesungguhnya catatan orang yang durhaka benar-benar tersimpan dalam sijjin,”
Penafsiran kata-kata:
الأَبْرَارَ : bentuk tunggalnya Barr. Artinya, orang yang melakukan perbuatan baik dan taqwa kepada Allah dalam segala perbuatannya.
الْفُجَّارَ : bentuk tunggalnya Fajir. Artinya, orang yang meninggalkan syari’at-syari’at Allah dan melanggar batasan-batasan-Nya.
سِجِّيْنٍ : nama sebuah kitab (catatan) yang di dalamnya tertulis perbuatan orang-orang yang melewati batas untuk di-hisab.[6]
C.                KESIMPULAN

Kompetensi pedagogik dan intelektual di dalam pendidikan itu sendiri sangat diperlukan sebagai faktor pendukung. Dan Allah menciptakan manusia dengan pendengaran, penglihatan serta hati nurani untuk digunakan dalam hal tersebut. Adapun tentang terbaginya manusia itu terbagi menjadi dua golongan yaitu bararah yang memperoleh kenikmatan dan fajarah yang memperoleh siksaan serta tesimpan di dalam sijjin.




[1]  http://www.scribd.com/doc/81444995/pengertian-pedagogik#scribd, dipublikasikan oleh Windu Wulan (diakses tgl 30/03/2015)
[2] http://ms.wikipedia.org/wiki/Intelektual , sumber : JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan sejaRAH) (diakses tgl 30/03/2015)
[3] Sayyid Quthb. 2004. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani. Jilid 13, hal: 307. 
[4] Ahmad Mustafa Al-Maragi. 1992. Terjemah Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya Toha Putra. Jilid 21, hal: 202.
[5] Ahmad Mustafa Al-Maragi. 1992. Terjemah Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya Toha Putra. Jilid 29, hal: 20.
[6] Ahmad Mustafa Al-Maragi. 1992. Terjemah Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya Toha Putra. Jilid 30, hal: 121 & 133.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar