Rabu, 01 Juni 2016

Pembentukan Akhlaq



BAB I 
 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Akhlaq yaitu pembawaan diri yang ada di dalam diri seseorang. Akhlaq terbentuk secara tidak sengaja (spontan). Secara sederhana, akhlaq itu ada akhlaq yang baik (akhlaq Islami) maupun akhlaq yang buruk. Dengan demikian, akhlaq itu merupakan perbuatan yang dilakukan dengan mudah, mendarah daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. dilihat dari segi sifatnya, akhlaq bersifat universal. Begitu pula dengan akhlaq Islami, ia bersifat universal. Artinya, dalam menjabarkan akhlaq ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.
Akhlaq dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam menjabarkan akhlaq yang berdasarkan agam (akhlaq Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesama mnusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlaq Islami, itu tidak berarti akhlaq Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
Dan sesungguhnya, Allah SWT sendiri pun mengutus Rasulullah SAW kepada umat Islam salah satunya yaitu untuk menyempurnakan akhlaq manusia,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ
Hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq kalian”.


B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengambil beberapa rumusan masalah diantaranya:
1.                  Apa Pengertian Pembentukan Akhlaq?
2.                  Apa saja metode dalam membina Akhlaq?
3.                  Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan Akhlaq?
4.                  Apa saja manfaat dari Akhlaq yang Mulia?

C.    Tujuan Penulisan
Dilihat dari rumusan-rumusan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1.      Agar pembaca dan penulis mengetahui apa arti dari Pembentukan Akhlaq.
2.      Agar pembaca dan penulis apa saja metode-metode dalam membina Akhlaq seseorang.
3.      Agar pembaca dan penulis mengetahui faktor-faktor apa yang bisa mempengaruhi pembentukan Akhlaq seseorang.
4.      Agar pembaca dan penulis mengetahui manfaat dari Akhlaq yang mulia.

D.    Sistematika Penulisan
Adapun sistemtika dari penulisan makalah ini yaitu terdiri dari cover, kata pengantar, daftar isi, Bab I yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan dan sistemtika penulisan, Bab II yang berisi Arti pembentukan Akhlaq, Metode Pembinaan Akhlaq, Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan Akhlaq dan Manfaat Akhlaq yang Mulia, Bab III yang berisi kesimpulan serta kritik dan saran, terakhir daftar pustaka.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Arti Pembentukan Akhlaq
Berbicara masalah pembentukan akhlaq sama dengan berbicara tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlaq. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi misalnya mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlaq adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam. Demikian pula Ahmad D.Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan meyerahkan diri kepadanya dengan memeluk agama Islam.
     Namun sebelum itu masih ada masalah  yang perlu kita duduki dengan seksama,  yaitu apakah akhlaq itu dapat dibentuk atau tidak? Jika dapat dibentuk apa alasannya dan bagaimana caranya? Dan jika tidak, apa pula alasannya dan bagaimana selanjutnya?
Menurut sebagian ahli bahwa akhlaq tidak perlu dibentuk, karena akhlaq adalah Insting (Gharizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini bahwa masalah akhlaq adalah pembawaan dari manusia sendiri, yaitu kecendrungan kepada kebaikan atau fitrah yang ada dalam diri manusia, dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cendrung kepada kebenaran.
Dengan pandangan seperti ini maka akhlaq akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa di bentuk atau di usahakan (Ghair Muktasabah). Kelompok ini lebih lanjut menduga bahwa akhlaq adalah gambaran batin sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak akan sanggup mengubah perbuatan batin. Orang yang bakatnya pendek misalnya tidak dapat dengan sendirinya meningkatkan dirinya. Demikian sebaliknya.
     Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlaq adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Kelompok yang mendukung pendapat yang kedua ini umumnya datang dari ulama-ulama Islam yang cendrung pada akhlaq. Ibnu Miswakaih, Ibn Sina, Al-Ghazali dan lain-lain termasuk kepada kelompok yang mengatakan bahwa  akhlaq adalah hasil usaha (Muktasabah). Imam Al-Ghazali misalnya mengatakan sebagai berikut:
لَوْكَانَتِ الْأَخْلاَقُ لاَنَقْبَلُ التَّغَيُّرَ لَبَطَلَتِ الْوَصَايَا وَالْعَوَاعِظَ وَالتَّأْ دِيْبَاتِ وَلِمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَخْلاَقَكُمْ
“Seandainya Akhlaq itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat, dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadits nabi yang mengatakan, ‘perbaikilah akhlaq kamu sekalian’.’’
   Pada kenyataan di lapangan, usaha-usaha pembinaan akhlaq melalui berbagai lembaga pendidikan, dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini menunjukan bahwa akhlaq memang perlu dibina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlaq mulia, taat kepada Allah dan Rasulnya, hormat kepada Ibu Bapak, sayang kepada sesama makhluk tuhan dan seterusnya. Sebaliknya keadaan sebaliknya juga menunujukan bahwa anak-anak yang tidak di bina akhlaqnya, atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan, ternyata menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan berbagai perbuatan tercela dan seterusnya. Ini menunukan bahwa akhlaq memang perlu dibina.
Keadaan pembinaan ini semakin terasa di perlukan terutama pada saat dimana semakin banyak tantangan dan godaan sebagai dampak dari kemajuan dibidang IPTEK. Saat ini misalnya orang akan dengan mudah berkomunikasi dengan apapun yang ada didunia ini, yang baik atau yang buruk, karena ada alat komunikasi. Peristiwa yang baik atau yang buruk dengan mudah dapat dilihat melalui pesawat televisi, internet, faximile, dan seterusnya, film, buku-buku, tempat-tempat hiburan yang menyuguhkan adegan maksiat juga banyak. Demikian pula produk obat-obat terlarang minuman keras dan pola hidup materialistik dan hedonistik semakin menggejala. semua ini jelas membutuhkan pembinaan akhlaq.
Dengan uraian tersebut diatas kita dapat mengatakan bahwa akhlaq merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan sungguh-sungguh terhadap berbagai potensi rohaniyah yang terdapat dalam diri manusia. Jika program pendidikan dan pembinan akhlaq itu dirancang dengan baik, sistemtik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan menghasilkan anak-anak atau orang-orang yang baik akhlaqnya. Disinilah letak peran berfungsi lembaga pendidikan.
Dengan demikian pembentukan akhlaq dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Pembentukan akhlaq ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa akhlaq adalah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi dengan sendirinya. Potensi rohaniyah yang ada dalam diri manusia termasuk dalam akalnya, nafsu amarah, nafsu syahwat, fitrah, kata hati, hati nurani, dan intuisi divina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat.

B.     Metode Pembinaan Akhlaq
Pembinaan akhlaq merupakan tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari salah satui misi kerasulan nabi Muhammad SAW. Yang utama adalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. Dalam salah satu haditsnya Beliau menegaskan innama buitstu utamima makarim al-akhlaq (HR. ahmad) (hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq mulia).
Perhatian Islam yang demikian terhadap pembinaan akhlaq didapat pula dilihat dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan daripada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia, lahir dan batin
Perhatian Islam dalam pembinaan akhlaq selanjutnya dapat dianalisis pada muatan akhlaq yang terdapat pada seluruh aspek ajaran Islam. Ajaran Islam tentang keimanan misalnya sangat berkaitan erat dengan mengerjakan serangkaian amal sholih dan perbuatan terpuji itu iman yang tidak disertai dengan akhlaq dinilai sebagai iman yang palsu, bahkan dianggap sebagai kemunafikan. Dalam Al-Quran kita misalnya membaca ayat yang berbunyi :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُوْلُ اَمَنَّا بِاللهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَاهُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ
Dan diantara manusia (orang munafik) itu ada orang yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah dan hari akhir, sedangkan yang sebenarnya mereka bukan orang yang beriman”. (QS. Al-Baqarah [2]: 8)
إِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِينَ اَمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيلِ اللهِ أُولئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian itu mereka tidak ragu-ragu dan senantiasa berjuang dengan harta dan dirinya di jalan Allah. Itulah orang-orang yang benar (imannya).” (QS.Al-Hujurat [49]: 15)
Ayat-ayat di atas menuujukan dengan jelas bahwa iman yang di kehendaki Islam bukan iman yang hanya sampai pada ucapan dan keyakinan, tetapi iman yangh di sertai dengan perbuatan dan akhlaq yang mulia, seperti tidak ragu-ragu menerima ajaran yang di bawa rasul, mau memanfaatkan harta dan dirinya untuk berjuang di jalan Allah dan seterusnya. Ini menunujukan bahwa keimanan harus membuahkan akhlaq, dan juga memperlihatkan bahwa Islam sangat mendampakan terwujudnya akhlaq yang mulia.
Pembinaan akhlaq dalam Islam juga terintegrasi dengan pelaksanaan rukun iman. Hasil analisis Muhammad al-Ghazali terhadap rukun Islam yang lima telah menunujukan dengan jelas, bahwa dalam rukun Islam yang lima itu terkandung dalam pembinaan akhlaq. Adapun Islam yang pertma adalah mengucapkan dua kalimah syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa nabi muhammad adalah utusan Allah. Kalimat ini mengandung pernyataan bahwa selama hidupnya manusia hanya tunduk kepada aturan dan tuntutan Allah. Orang yang tunduk dan patuh pada aturan Allah dan rasulnya sudah dapat di pastikan akan menjadi orang yang baik.
Selanjutnya rukun Islam yang kedua adalah mengerjakan shalat lima waktu. Shalat yang di kerjakan akan membawa pelakunya terhindardari perbuatan yang keji dan mungkar (QS.Al-Ankabut 29:45). Dalam hadist Qudsi di jelaskan pula sebagai berikut:
إِنَّمَا اَتَقَبَّلَ الصَّلاَةُ مِمَّنْ تَوَاضَعَ بِهَا لِعَظَمَتِيْ وَلَمْ يَسْتَطِلْ عَلَى خَلْقِى وَلَمْ يَبِتْ مُصِرًّا عَلَى مَعْصِيَتِيْ وَقَطَعَ النَّهَارَ فِيْ ذِكْرِيْ وَرَحِمَ الْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالأَرْمِلَةَ وَرَحِمَ الْمُصَابَ (رواه البزر)
“Bahwasannya Aku menerima shalat hanya dari orang yang bertawadlu dengan shalatnya kepada keangungan-Ku yang tidak terus-menerus berdosa, menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk dzikir kepada-Ku, kasih sayang kepada fakir miskin, ibn sabil, janda serta mengasihi orang yang mendapat musibah.” (HR. Al-Bazzar)
Pada hadits tersebut shalat diharapkan dapat menghasilkan akhlaq yang mulia, yaitu bersikap tawadhu, mengagungkan Allah, berdzikir, membantu fakir miskin, ibnu sabil, janda dan orang yang dapat mendapat musibah. Selain itu shalat (Khususnya jika dilaksanakan berjamaah) menghasilkan serangkaian perbuatan seperti kesehajaan, imam dan makmum sama-sama berada dalam satu tempat, tidak saling berebut untuk menjadi imam, jika imam batal dengan rela untuk digantikan yang lainnya, selesai shlat saling berjabat tangan, dan seterusnya. Semua ini mengandung ajaran akhlaq.
Selanjutnya dalam rukun Islam yang ketiga, yaitu zakat juga mengandung didikan akhlaq, yaitu agar orang-orang yang melaksanakannya dapat membersihkan dirinya dalam sifat kikir, mementingkan diri sendiri, dan membersihkan harta dari hak orang lain, yaitu hal fakir miskin dan seterusnya. Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat zakat adalah untuk membersihkan jiwa dan mengangkat derajat manusia ke jenjang yang lebih mulia.
Pelaksaan zakat yang berdimensi akhlaq yang bersifat sosial ekonomis ini dipersubur lagi dengan melaksakan shadaqah yang bentuknya tidak berupa materi tetapi juga non materi.
Begitu juga Islam mengajarkan ibadah puasa sebagai rukun Islam yang keempat. Bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum dalam waktu terbatas, tetapi dari lebih itu merupakan latihan menahan diri dari keinginan melakukan perbuatan keji yang dilarang.
Selanjutkan rukun Islam yang kelima adalah ibadah haji. Dalam ibadah haji ini pun dinilai pembinaan akhlaqnya lebih besar dibandingkan dengan pembinaan akhlaq yang ada pada ibadah dalam rukun Islam lainnya. Hal ini dipahami karena ibadah haji ibadah dalam Islam bersikap komprehensif yang menuntut persyaratan yang banyak, yaitu disamping harus menguasai ilmunya, juga harus sehat fisiknya, ada kemauan keras, bersabar dalam menjalankannya dan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, serta rela meninggalkan tanah air, harta kekayaan, dan lainnya. Hubungan ibadah haji dengan pembinaan akhlaq ini dapat dipahami dari ayat yang berbunyi:
ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَٰتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. BerbekAllah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal”. (QS. Al- Baqarah [2]: 197)
Berdasarkan analisis yang didukung dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits tersebut di atas, kita dapat mengatakan bahwa Islam sangat memberi perhatian yang besar terhadap pembinaan akhlaq, termasuk cara-caranya. Hubungan antara rukun iman dan Islam terhadap pembinaan akhlaq sebagaimana yang digambarkan yang diatas menunjukkan bahwa pembinaan akhlaq yang ditempuh Islam adalah menggunakan berbagai sarana peribatan dan lainnya secara simboltan untuk diarahkan ke arah pembinaan.
Cara lain yang dapat ditempuh untuk pembinaan akhlaq ini adalah pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung secara kontinyu. Berkenaan dengan ini Imam al-Ghazali mengatakan bahwa kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan melalui pembiasaan. Jika manusia membiasakan berbuat jahat, maka ia akan menjadi orang jahat. Untuk ini al- Ghazali menganjurkan agar akhlaq diajarkan, yaitu dengan cara melatih jiwa kepada pekerjaan atau tingkah laku yang mulia. Jika seseorang menghendaki agar ia menjadi pemurah, maka ia harus dibiasakan dirinya melakukan pekerjaan yang bersifat pemurah, hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi bi’atnya yang mendarah daging.
Dalam tahap-tahap tertentu, pembinaan akhlaq, khususnya akhlaq lahiriyah dapat pula dilakukan dengan cara paksaan yang lama kelamaan tidak lagi terasa dipaksa. Seseorang yang ingin menulis dan mengatakan kata-kata yang bagus mislanya, pada mulanya ia harus memaksakan tangan dan mulutnya menuliskan atau mengatakan kata-kata dan huruf yang bagus. Apabila pembinaan ini sudah berlangsung lama, maka paksaan tersebut sudah tidak terasa lagi sebagai paksaan.
Cara yang lain yang tak kalah ampuhnya dari cara-cara diatas dalam hal pembinaan hal akhlaq ini adalah melalui keteladanan. Akhlaq yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran, inturksi dan larangan, sebab tabi’at jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup hanya dengan seorang guru mengatakan ‘kerjakan ini dan jangan kerjakan itu!’. Menanamkan sopan santun memerlukan pendidikan yang panjang dan harus ada pendekatan yang lestari. Pendidikan itu tidak akan sukses, melainkan jika disertai dengan pemberiaan contoh teladan yang baik dan nyata. Cara yang demikian itu telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Keadaan ini dinyatakan dalam ayat yang berbunyi:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا    
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
Selain itu pembinaan akhlaq dapat pula ditempuh dengan cara senantiasa menganggap diri ini sebagai banyak kekurangannya daripada kelebihannya. Dalam hubungan ini Ibn Sina mengatakan,”Jika seseorang menghendaki dirinya ber-Akhlaq utama, hendaknya ia lebih dahulu mengetahui kekurangan dan cacat yang ada dalam dirinya, dan membatasi sejauh mungkin untuk tidak berbuat kesalahan, sehingga kecacatannya itu tidak terwujud dalam kenyataan. Namun ini bukan berarti bahwa ia menceritakan dirinya sebagai orang yang paling bodoh, paling miskin dan sebagainya di hadapan orang-orang, dengan tujuan justru merendahkan orang lain.hal yang demikian dianggap tercela dalam Islam.
Pembinaan akhlaq secara efektif dapat pula dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina. Menurut hasil penelitian para Psikolog, bahwa kejiwaan manusia berbeda-beda menurut perbedaan tingkat usia. Pada usia kanak-kanak misalnya lebih menyukai hal-hal yang bersifat rekreatif dan bermain. Untuk itu ajaran akhlaq dapat disajikan dalam bentuk permainan. Hal ini pernah dilakukan oleh para ulama’ di masa lalu. Mereka menyajikan ajaran akhlaq lewat sya’ir yang berisi sifat-sofat Allah dan Rasul, anjuran beribadah dan berakhlaq mulia, dan lain-lainnya. Sya’ir tersebut dibaca pada saat menjelang dilangsungkannya pengajian, ketika akan melaksanakan shalat lima waktu, dan acara-acara peringatan hari-hari besar Islam.
C.    Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan Akhlaq
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlaq pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer. Pertama, aliran nativisme. Kedua, aliran empirisme, dan ketiga, aliran konvergensi.
Menurut aliran nativisme, bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecendrungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecendrungan yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut akan menjadi baik.
Aliran ini tampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia, dan hal ini kelihatnnya erat kaitannya dengan pendapat aliran intuisisme dalam hal penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan diatas. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang menghitungkan peranan pembinaan dan pendidikan.
Menurut aliran Empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian jika sebaliknya aliran ini tampak lebih begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh pendidikan dan pengajaran.
Dalam aliran konvergensi berpendapat pembentukan akhlaq dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dam pembinaan yang dibuat secara khusus, atau malalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fithrah dan kecendrungan ke arah yang baik yang ada di dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode.
Aliran yang ketiga, yakni aliran konvergensi itu tampak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat dan hadits di bawah ini,
وَٱللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,  dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan serta hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl [16]: 78)
Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk di didik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari. Potensi tersebut harus di syukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan. Hal ini sesuai pula dengan yang dilakukan Lukmanul Hakim kepada anaknya sebagai terlihat pada ayat yang berbunyi,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu itu memberi pelajaran kepadanya. ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman [31]: 13-14)
Ayat tersebut selain menggambarkan tentang pelaksaan pendidikan yang dilakukan Lukmanul Hakim, juga berisi materi pelajaran dan yang utama diantaranya adalah pendidikan tauhid dan keimanan, karena keimanan-lah yang menjadi salah satu dasar yang kokoh bagi pembentukan akhlaq. Kesesuaian teori konvergensi tersebut diatas, juga sejalan dengan hadits Nabi yang berbunyi,
كُلُّ مَوْلُدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ (رواه البخارى)
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fithrah (rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Ayat dan hadits tersebut diatas selain menggambarkan adanya teori konvergensi juga menunjukkan dengan jelas bahwa pelaksaan utama di dalam pendidikan adalah orang tua. Itulah sebabnya orang tua, khususnya ibu mendapatkan gelar sebagai madrasah yakni  tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan. Dan di dalam hadis nabi banyak dijumpai anjuran agar banyak orang tua membina anaknya. Selain itu ajaran Islam juga sudah memberi petunjuk kepada kedua orang tua dalam pembinaan anak ini. Petunjuk tersebut misalnya dimulai dengan carpa mencari calon atau pasangan hidup yang beragama, banyak beribadah pada seorang ibu sedang mengandung anaknya, mengadzani pada kuping kanan dan mengqomati pada kuping kiri, pada saat anak tersebut dilahirkan, memberikan makanan madu sebagai isyarat perlunya amakan yang bersih dan halal, mencukur rambut dan mengkhitannya sebagai lambang suka pada kebersihan, memotong aqiqah sebagi syarat menerima kehadirannya, memberi nama yang baik, mengajarkan membaca al-qur’an, beribadah terutama shalat lima waktu pada saat anak usia tujuh tahun, mengjarkan cara bekerja di rumah tangga, dan mengawinkannya pada saat dewasa. Hal ini memberi petunjuk tentang perlunya pendidikan keagamaan, sebelum anak mendapatkan pendidikan lainnya. Abdullah Nasikh Ulwan mengatakan, pendidikan hendaknya memperhatikan anak dari segi muraqabah Allah SWT yakni dengan menjadikan anak merasa bahwa Allah selamanya mendengar dan pembicaraannya, melihat gerak-geriknya, mengetahui apapun yang dirahasiakn dan yang dibisikkan mengetahui penghianatan mata dan apa yang disembunyikan hati.

Jika pendidikan diatas tekanannya lebih pada bidang akhlaq dan kepribadian muslim, maka untuk pendidikan bidang intelektual dan keterampilandi lakukan di sekolah, bengkel-bengkel kerja, tempat-tempat kursus, dan kegiatan lainnya yang dilakukan masyarakat.
Adapun faktor-faktor pengaruh dalam pembentukan perilaku Muslim itu sendiri yaitu :
1.      Faktor Pembawaan Naluriyah (Gharizah atau Instink)
Sebagai makhluk biologis, ada faktor bawaan sejak lahir yang menjadi pendorong perbuatan setiap manusia. Faktor itu disebut dengan naluri atau tabiat menurut J.J Rouseau. Lalu Mansur Ali Rajab menamakannya dengan tabiat kemanusiaan (Al-Tabi’ah Al-Insaniyah). Ia menyetir pendapat Plato yang menyatakan bahwa tabiat (bawaan) baik dengan bawaan buruk dalam diri manusia sangat berdekatan, karena itu sering muncul perbuatan baiknya dan perbuatan buruknya. Lalu menyetir lagi pendapat J.J Rouseau (1712-1778) dari Prancis dengan mengatakan, “Sesungguhnya anak yang baru lahir memiliki pembawaan baik, lalu sifat buruknya muncul karena pengaruh dari lingkungannya.”
Dengan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa kecendrungan naluriyah dapat dikendalikan oleh akhlaq atau tuntutan agama sehingga manusia dapat mempertimbangkan kecendrungannya apakah itu baik atau buruk. Gharizah atau nakuri tidak pernah berubah sejak manusia itu lahir, tetapi pengaruh negatifnya yang bisa dikendalikan oleh faktor pendidikan atau latihan. Karena faktor naluri ini sangat berkait dengan nafsu (amarah dan muthmainnah). Maka sering ia dapat membawa manusia kepada kehancuran moral, dan sering pula menyebabkan manusia mencapai tingkat yang lebih tinggi, dengan kemampuan nalurinya tatkala naluri cenderung kepada perbuatan baik, maka akal yang dituntut agam yang memberikan jalan seluas-liasnya untuk lebih meningkatkan insentitas perbuatan itu. Maka disinilah, perlunya manusia memiliki agama, sebagai pengendalian dan penuntut dalam hidupnya.
2.      Faktor Sifat-sifat Keturunan (al-Wirathah)
Mansur Ali Rajab mengatakan, bahwa sifat-sifat keturunan adalah sifat-sifat (bawaan) yang diwariskan oleh orang tua kepada keturunannya (anak cucunya).
Warisan sifat-sifat orang tua kepada keturunannya, ada yang sifatnya langsung (mubasharah) dan ada juga yang tidak langsung (gairu mubasharah), misalnya sifat-sifat itu tidak langsung turun kepada anaknya, tetapi dapat turun kepada cucunya. Sifat-sifat ini juga kadang dari ayah atau ibu, dan kadang anak atau cucu mewarisi kecerdasan (sifah al-‘aqliyah) dari ayahnya atau kakeknya, lalu mewarisi sifat baik (sifah al-khuluqiyah) dari ibunya atau neneknya, atau dengan sebaliknya.
Disamping adanya sifat bawaan anak sejak lahir (naluri dan sifat keturunan), sebagai potensi dasar untuk mempengaruhi perbuatan setiap manusia, dan juga faktor lingkungan yang mempengaruhinya; misalnya pendidikan dan tuintunan agama.Faktor ini, disebut faktor usaha (al-muktasabah) dalam ilmu akhlaq.Semakin besar pengaruh faktor pendidikan atau tuntunan agama kepada manusia, semakin kecil pula kemungkinan warisan sifat-sifat buruk orang tua dapat mempengaruhi sikap dan perilaku anaknya.
Kemampuan ilmu (kognitif), sikap kejiwaan yang baik (afektif) dan keterampilan yang didasari oleh ilmu dan sikap baik manusia (psikomotorik) yang telah diperoleh dari proses pendidikan dan tuntunan agama, termasuk kemampuan dan sifat-sifat yang telah diusahakan oleh manusia (sifah al-Muktasabah). Maka disinilah peranan orang tua di rumah tangga, guru disekolah, dan tokoh agama di masyarakat, untuk membentuk manusia yang beragama, berilmu, dan berakhlaq mulia.
3.      Faktor Lingkungan dan Adat Istiadat
Pembentukan akhlaq manusia, saat ditentukan oleh lingkungan alam dan lingkungan social (faktor adat kebiasaan), yang dalam pendidikan disebut dengan faktor Empiris (pengalaman hidup manusia), terutama sekali dipelopori oleh John Lock.
Pertumbuhan dan perkembangan manusia ditentukan juga oleh faktor dari luar dirinya yaitu faktor pengalaman yang disengaja termasuk pendidikan dan pelatihan, sedangkan yang tidak disengaja, termasuk lingkungan alam dan lingkungan social.Lingkungan alam disebut “Al-biah” dalam ilmu akhlaq, sedangkan lingkunagn social disebut dengan “al-adah dalam ilmu akhlaq.
Paham empirisme ini, berkembang luas di dunia Barat, terutama di Amerika Serikat, yang menjelma menjadi aliran behaviorisme dalam ilmu pendidikan. Sedangkan dalam ilmu akhlaq, Mansur Ali Rajab mengemukakan pendapat J.J Rosseau yang mengatkan, bahwa faktor dalam diri manusia, termasuk dalam pembawaannya, selalu membentuk akhlaq baik manusia, sedangkan faktor dari luar, termasuk lingkunagna alam dan lingkungan socialnya; ada kalanya berpengaruh baik, dan adakalanya berpengaruh buruk. Ketika manusia lahir di lingkungan baik, maka pengaruhnya kepada pembentukan akhlaqnya juga baik dan ketika ia lahir di lingkungan kurang baik maka pengaruhnya juga menjadi tidak baik. Maka disinilah pendidikan dan bimbingan akhlaq sangat diperlukan untuk membentuk dan mengembangkan akhlaq manusia.Ini diakui oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin yang mengatakan : Seandainya akhlaq manusia tidak dapat diubah maka tidak ada gunanya memberikan pesan-pesan, nasehat-nasehat, dan pendidikan kepada manusia.
4.      Faktor Agama (Kepercayaan)
Agama bukan saja kepercayaan yang harus dimiliki oleh setiap manusia, tetapi ia harus berfungsi dalam dirinya untuk menuntun segala aspek kehidupanny; misalnya berfungsi sebagai sistem kepercayaan, sistem ibadah, dan sistem kemasyarakatan yang terkait dngan nilai akhlaq.
a)         Fungsi Agama sebagai Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan (al-Thiqah) dalam Islam tidak dapat dipisahkan dengan sistem ibadah dan kemasyarakatan. Karena itu keberhasilan menanamkan pendidikan keimanan terhadap manusia dapat diukur dengan amalan-amalan yang nyata; baik ucapan maupun perbuatan. Karena itu Ibnu al-Qayyim mengatakan , bahwa iman atau kepercayaan adalah nama sebuah niat, ucapan, dan perbuatan.
Agama sebagai suatu sistem kepercayaan maka ia harus selalu menjadi pegangan dalam kehidupan spritual yanvg berbentuk ajaran keimanan dan ketaqwaaan yang akan menjadi motivasi dan pengendali dalam setiap sikapdan perilaku hidup manusia. Tatkala manusia mendapatkan kesenangan maka ia tidak takabbur dan sombong, tetapi ia harus bersyukur kepada Zat yang memberikan kesenangan itu, yaitu Allah. Dan ketika ditimpa kesusahan sebagai contoh cobaan hidup baginya, maka ia tidak putus asa tetapi ia harus bersabar menerima ketentuan Allah, dan berusaha mengatasinya.
b. Fungsi Agama sebagai sistem Ibadah
Ali bin Muhammad al-Jarjani mendefinisikan ibadah dengan mengatakan : ibadah adalah perbuatan orang mukallaf yang berbeda dengan keinginan hawa nafsunya, karena semata-mata mengagungkan tuhannya.
Sistem ibadah dalam Islam menurut pendapat tersebut meliputi ibadah mahdhoh (ritual); yaitu ibadah yang terkait dengan hubungan hamba dengan tuhannya. Dan ibadah umum; yaitu ibadah yang terkait antara hamba dengan sesama makhluk yang lain.
Agama sebagi suatu sitem ibadah maka ia memberikan petunjuk tentang tata cara berkomunikasi dengan Allah yang disebut ibadah; baik ibadah dzikir, doa, shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya. Ibadah doa dan dzikir tidak ditentukan jumalah dan waktunya sedangkan shalat, zakat, puasa, dan haji telah ditentukan waktu pelaksanaanya sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW in9 termasuk ibadah ritual sebagaimana tersebut diatas yang harus menjadi fungsional dalam diri manusia maka dorongan-dorongannya sangat kuat untukl selalu berkomunikasi dengan Allah baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah. Tidak mengenal tempat dan waktu dimanapun ia berada, tetpa selalu ingin dekat kepada tuhannya karena itu ia selalu beribadah kepada-Nya.
c. Fungsi Agama sistem Kemasyarakatan yang terikat dengan nilai akhlaq
Sebagaimana yang dikemukakan diatas, bahwa ilmu akhlaq selalu berusaha menilai dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Maka setiap manusia yang berkomunikasi dengan sesamanya, dianjurkan dalam agama agar selalu memilih penampilan diri dengan cara-cara yang baik.
Manusia sebagai makhluk sosial, ia merasa kesepian jika tidak bergabung dnegan masyarakatnya. Dalam masalah ibadah pun, pergaulan dengan masyarakat ditempatkan pada tingkatan yang sangat tinggi derajatnya oleh Allah, maka dianjurkan melkukan shalat berjama’ah, dengan dijanjikan pahala yang berlipat ganda menjadi 27 kali lebih banyak daripada shalat sendirian. Ini membuktikan bahwa betapa tinggi nilainya pergaulan kemasyarakatan dalam agama sebagaimana yang diterangkan oleh Mahmud Sayyid Sultan dalam pembahasannya yang berjudul “al-Din nizamu al-Ijtima’i” (agam merupakan sistem kemasyarakatan).
Dalam pergaulan kemasyarakatan selalu diikat dengan suatu norma baik norma akhlaq maupun norma kemasyarakatan. Norma akhlaq sangat universal sifatnya karena bersumber dari agama yang dianutnya sedangkan norma kemasyarakatan bersifat local dan kondisional karena bersumber dari adat. Kebiasaan masyarakat setempat tentu saja norma kemasyarakatan harus tunduk kepada norma akhlaq, tidak boleh bertentangan tetapi sifatnya harus menjabarkan, menerangkan, dan menentukan nilai baik yang bersifat universal dari nilai akhlaq yang dianutnya.

D.    Manfaat Akhlaq yang Mulia
Uraian tersebut diatas lebih menggambarkan bahwa Islam menginginkan suatu masyarakat yang berakhlaq mulia. Akhlaq yang mulia ini demikian ditekankan karena disamping akan membawa kebahagiaan bagi individu juga sekaligus membawa kebahagiaan bagi masyakat pada umumnya. Dengan kata lain bahwa akhlaq mulia yang ditampilkan seseorang, manfaatnya adalah untuk orang yang bersangkutan.
Al-Qur’an dan Hadits banyak sekali memberi informasi tentang manfaat akhlaq yang mulia itu.  
Keberuntungan dari akhlaq tersebut di antaranya:
1.      Memperkuat dan menyempurnakan agama
Nabi bersabda:
اِنَّ اللهَ تَعَالَى إِخْتَارَ لَكُمْ الإِسْلاَمَ دِيْنَا فَأَكْرِمُوهُ بِحُسْنِ الْخُلُقِ وَالسَّخَاءِ فَإِنَّهُ لاَ يَكْمِلُ إِلاَّ بِهِمَا
“Allah telah memilihkan agama Islam untuk kamu, hormatilah agama dengan aklaq dan sikap dermawan karena Islam itu tidak akan sempurna kecuali dengan akhlaq dan sikap dermawan itu”.
حُسْنُ الْخُلُقِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ يَعْمُرَانِ الدِّيَارَ وَيَزِيْدَانِ فِي الاَعْمَارِ
“Berakhlaq yang baik dan berhubungan dengan tetangga yang baik akan membawa keberuntungan dan kemakmuran”.
Allah telah memilihkan agama Islam untuk kamu, hormatilah agama dengan akhlaq dan sikap dermawan, karena Islam itu tidak akan sempurna kecuali dengan akhlaq dan sikap dermawan itu.
Berkenaan dengan hadist tersebut almawardi mengatakan bahwa akhlaq yang mulia dan bertetangga yang baik itu akan mendatangkan kemakmuran. Apa di jelaskan dalam hadist tersebut secara logika dapat di terima, karena dengan akhlaq yang baik akan menimbulkan kawan yang banyak dan di sukai orang, sehingga segala kesulitan dapat di pecahkan dan peluang untuk mendapat rezeki dan keberungtungan akan terbuka, mengingat rezeki itu datang melalui interaksi dengan baik dengan orang lain.
2.      Mempermudah perhitungan amal di Akhirat
Nabi bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ حَاسَبَهُ اللهُ حِسَابًا يَسِيْرًا فَأَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ تُعْطِى مَنْ حَرَمَكَ وَ تَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَتَصِيْلُ مَنْ قَطَعَكَ (رواه الحاكم)
“Ada tiga kemudahan yang membawa kemudahan hisab (perhitungan amal di akhirat) dan akan dimasukkan ke surge yaitu engkau pemberi sesuatu kepada orang yang tak perah memberi apapun kepadamu (kikir), engkau memaafkan orang yang pernah menganiayamu, dan engku menyambung tali silaturahim kepada orang yang tak pernah kenal kepadamu.”. (HR.Al-Hakim)
3.      Menghilamgkan Kesulitan
Nabi bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه مسلم)
“Barang siapa melepaskan kesulitan orang mu’min dari kehidupan nnya di dunia ini, maka Allah akan melspaskan kesulitan orang tersebut para hari kiamat.” (HR. Muslim)
4.      Selamat hidup di Dunia dan di Akhirat
Nabi bersabda:
ثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ : خَشْيَةُ اللهِ تَعَالَى فِى السِّرِّ وَالْعَلاَنِيَةِ وَالْعَدْلُ فِى الرِّضَا وَالْغَضَبِ وَالْقَصْلُ فِى الْفَقْرِ وَالْغِنَى
“Ada tiga perkara yang dapat menyelamtkan manusia, yaitu takut kepada Allah di tempat yang tersembunyi maupun di tempat yang terang, berlaku adil pada waktu rela maupun pada waktu marah, dan hidup sederhana pada waktu miskin, maupun waktu kaya.” (HR.Abu Syaikh)

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pembentukan Akhlaq itu sama dengan tujuan pendidikan, karena banyak sekali pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlaq. Adapun dari pembinaan akhlaq dapat pula dilihat dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan dari pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik akan lahir perbuatan yang baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlaq tersebut terbagi menjadi tiga aliran, yaitu Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi. Maka, bila seseorang memiliki akhlaq yang mulia, akan ada manfaat atau keuntungan dari akhlaq tersebut salah satunya yaitu selamat hidup di Dunia maupun di Akhirat.
B.     Kritik dan Saran












 DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, M.A, Prof. Dr. H. 2012. Akhlaq Tasawuf. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Al-Qur’an Terjemahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar