BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akhlaq yaitu
pembawaan diri yang ada di dalam diri seseorang. Akhlaq terbentuk secara tidak
sengaja (spontan). Secara sederhana, akhlaq itu ada akhlaq yang baik (akhlaq Islami)
maupun akhlaq yang buruk. Dengan demikian, akhlaq itu merupakan perbuatan yang
dilakukan dengan mudah, mendarah daging dan sebenarnya yang didasarkan pada
ajaran Islam. dilihat dari segi sifatnya, akhlaq bersifat universal. Begitu
pula dengan akhlaq Islami, ia bersifat universal. Artinya, dalam menjabarkan
akhlaq ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial yang
terkandung dalam ajaran etika dan moral.
Akhlaq dalam
ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan
moral itu diperlukan dalam menjabarkan akhlaq yang berdasarkan agam (akhlaq Islami).
Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara
sesama mnusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi
ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlaq Islami, itu tidak berarti
akhlaq Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
Dan
sesungguhnya, Allah SWT sendiri pun mengutus Rasulullah SAW kepada umat Islam
salah satunya yaitu untuk menyempurnakan akhlaq manusia,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ
الْأَخْلاَقِ
“Hanyalah aku diutus
untuk menyempurnakan akhlaq kalian”.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengambil beberapa rumusan masalah
diantaranya:
1.
Apa Pengertian Pembentukan
Akhlaq?
2.
Apa saja metode dalam membina
Akhlaq?
3.
Apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan Akhlaq?
4.
Apa saja manfaat dari Akhlaq yang
Mulia?
C. Tujuan Penulisan
Dilihat dari rumusan-rumusan
masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1.
Agar pembaca dan penulis
mengetahui apa arti dari Pembentukan Akhlaq.
2.
Agar pembaca dan penulis apa saja
metode-metode dalam membina Akhlaq seseorang.
3.
Agar pembaca dan penulis
mengetahui faktor-faktor apa yang bisa mempengaruhi pembentukan Akhlaq
seseorang.
4.
Agar pembaca dan penulis
mengetahui manfaat dari Akhlaq yang mulia.
D. Sistematika Penulisan
Adapun sistemtika dari penulisan
makalah ini yaitu terdiri dari cover, kata pengantar, daftar isi, Bab I yang
berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan dan sistemtika
penulisan, Bab II yang berisi Arti pembentukan Akhlaq, Metode Pembinaan Akhlaq,
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan Akhlaq dan Manfaat Akhlaq yang
Mulia, Bab III yang berisi kesimpulan serta kritik dan saran, terakhir daftar
pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Arti Pembentukan Akhlaq
Berbicara masalah pembentukan akhlaq sama dengan berbicara tentang
tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang
mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlaq. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi
misalnya mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlaq adalah jiwa dan
tujuan pendidikan Islam. Demikian pula Ahmad D.Marimba berpendapat bahwa tujuan
utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap muslim, yaitu
untuk menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan meyerahkan diri
kepadanya dengan memeluk agama Islam.
Namun sebelum itu masih ada masalah yang perlu kita duduki dengan seksama, yaitu apakah akhlaq itu dapat dibentuk atau tidak? Jika dapat dibentuk apa alasannya dan bagaimana caranya? Dan jika tidak, apa pula
alasannya dan bagaimana selanjutnya?
Menurut sebagian ahli bahwa akhlaq tidak perlu dibentuk, karena akhlaq
adalah Insting (Gharizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini bahwa masalah
akhlaq adalah pembawaan dari manusia sendiri, yaitu kecendrungan kepada
kebaikan atau fitrah yang ada dalam diri manusia, dan dapat juga berupa kata
hati atau intuisi yang selalu cendrung kepada kebenaran.
Dengan pandangan seperti ini maka akhlaq akan tumbuh dengan sendirinya,
walaupun tanpa di bentuk atau di usahakan (Ghair Muktasabah). Kelompok ini
lebih lanjut menduga bahwa akhlaq adalah gambaran batin sebagaimana terpantul
dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak akan sanggup mengubah
perbuatan batin. Orang yang bakatnya pendek misalnya tidak dapat dengan
sendirinya meningkatkan dirinya. Demikian sebaliknya.
Selanjutnya
ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlaq adalah hasil dari pendidikan,
latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Kelompok yang
mendukung pendapat yang kedua ini umumnya datang dari ulama-ulama Islam yang cendrung
pada akhlaq. Ibnu Miswakaih, Ibn Sina, Al-Ghazali dan lain-lain termasuk kepada
kelompok yang mengatakan bahwa akhlaq adalah
hasil usaha (Muktasabah). Imam Al-Ghazali misalnya mengatakan sebagai
berikut:
لَوْكَانَتِ الْأَخْلاَقُ
لاَنَقْبَلُ التَّغَيُّرَ لَبَطَلَتِ الْوَصَايَا وَالْعَوَاعِظَ وَالتَّأْ
دِيْبَاتِ وَلِمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
أَخْلاَقَكُمْ
“Seandainya
Akhlaq itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat,
nasihat, dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadits nabi yang
mengatakan, ‘perbaikilah akhlaq kamu sekalian’.’’
Pada
kenyataan di lapangan, usaha-usaha pembinaan akhlaq melalui berbagai lembaga
pendidikan, dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini menunjukan bahwa akhlaq memang perlu dibina, dan
pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim
yang berakhlaq mulia, taat kepada Allah dan Rasulnya, hormat kepada Ibu Bapak,
sayang kepada sesama makhluk tuhan dan seterusnya. Sebaliknya keadaan
sebaliknya juga menunujukan bahwa anak-anak yang tidak di bina akhlaqnya, atau
dibiarkan tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan, ternyata menjadi anak-anak
yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan berbagai perbuatan tercela dan
seterusnya. Ini menunukan bahwa akhlaq memang perlu dibina.
Keadaan pembinaan ini semakin terasa di
perlukan terutama pada saat dimana semakin banyak tantangan dan godaan sebagai
dampak dari kemajuan dibidang IPTEK. Saat ini misalnya orang akan dengan mudah
berkomunikasi dengan apapun yang ada didunia ini, yang baik atau yang buruk,
karena ada alat komunikasi. Peristiwa yang baik atau yang buruk dengan mudah
dapat dilihat melalui pesawat televisi, internet, faximile, dan seterusnya,
film, buku-buku, tempat-tempat hiburan yang menyuguhkan adegan maksiat juga
banyak. Demikian pula produk obat-obat terlarang minuman keras dan pola hidup
materialistik dan hedonistik semakin menggejala. semua ini jelas membutuhkan
pembinaan akhlaq.
Dengan uraian tersebut diatas kita dapat
mengatakan bahwa akhlaq merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan
sungguh-sungguh terhadap berbagai potensi rohaniyah yang terdapat dalam diri
manusia. Jika program pendidikan dan pembinan akhlaq itu dirancang dengan baik,
sistemtik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan menghasilkan
anak-anak atau orang-orang yang baik akhlaqnya. Disinilah letak peran berfungsi
lembaga pendidikan.
Dengan demikian pembentukan akhlaq dapat
diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak, dengan
menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Pembentukan akhlaq ini
dilakukan berdasarkan asumsi bahwa akhlaq adalah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi
dengan sendirinya. Potensi rohaniyah yang ada dalam diri manusia termasuk dalam akalnya, nafsu
amarah, nafsu syahwat, fitrah, kata hati, hati nurani, dan intuisi divina
secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat.
B. Metode Pembinaan Akhlaq
Pembinaan akhlaq merupakan tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Hal
ini dapat dilihat dari salah satui misi kerasulan nabi Muhammad SAW. Yang utama
adalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. Dalam salah satu haditsnya
Beliau menegaskan innama buitstu utamima makarim al-akhlaq (HR. ahmad)
(hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq mulia).
Perhatian Islam yang demikian terhadap pembinaan akhlaq didapat pula
dilihat dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan
daripada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir
perbuatan-perbuatan yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah
menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia, lahir dan
batin
Perhatian Islam dalam pembinaan akhlaq selanjutnya dapat dianalisis pada
muatan akhlaq yang terdapat pada seluruh aspek ajaran Islam. Ajaran Islam
tentang keimanan misalnya sangat berkaitan erat dengan mengerjakan serangkaian
amal sholih dan perbuatan terpuji itu iman yang tidak disertai dengan akhlaq dinilai
sebagai iman yang palsu, bahkan dianggap sebagai kemunafikan. Dalam Al-Quran
kita misalnya membaca ayat yang berbunyi :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُوْلُ
اَمَنَّا بِاللهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَاهُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ
“Dan
diantara manusia (orang munafik) itu ada orang yang mengatakan: Kami beriman
kepada Allah dan hari akhir, sedangkan yang sebenarnya mereka bukan orang yang
beriman”. (QS. Al-Baqarah [2]: 8)
إِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِينَ
اَمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيلِ اللهِ أُولئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian itu mereka tidak ragu-ragu dan senantiasa berjuang dengan
harta dan dirinya di jalan Allah. Itulah orang-orang yang benar (imannya).”
(QS.Al-Hujurat [49]: 15)
Ayat-ayat di atas menuujukan dengan jelas
bahwa iman yang di kehendaki Islam bukan iman yang hanya sampai pada ucapan dan
keyakinan, tetapi iman yangh di sertai dengan perbuatan dan akhlaq yang mulia,
seperti tidak ragu-ragu menerima ajaran yang di bawa rasul, mau memanfaatkan
harta dan dirinya untuk berjuang di jalan Allah dan seterusnya. Ini menunujukan
bahwa keimanan harus membuahkan akhlaq, dan juga memperlihatkan bahwa Islam
sangat mendampakan terwujudnya akhlaq yang mulia.
Pembinaan akhlaq dalam Islam juga terintegrasi
dengan pelaksanaan rukun iman. Hasil analisis Muhammad al-Ghazali terhadap
rukun Islam yang lima telah menunujukan dengan jelas, bahwa dalam rukun Islam
yang lima itu terkandung dalam pembinaan akhlaq. Adapun Islam yang pertma
adalah mengucapkan dua kalimah syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Allah, dan bersaksi bahwa nabi muhammad adalah utusan Allah. Kalimat ini
mengandung pernyataan bahwa selama hidupnya manusia hanya tunduk kepada aturan
dan tuntutan Allah. Orang yang tunduk dan patuh pada aturan Allah dan rasulnya
sudah dapat di pastikan akan menjadi orang yang baik.
Selanjutnya rukun Islam yang kedua adalah
mengerjakan shalat lima waktu. Shalat yang di kerjakan akan membawa pelakunya
terhindardari perbuatan yang keji dan mungkar (QS.Al-Ankabut 29:45). Dalam
hadist Qudsi di jelaskan pula sebagai berikut:
إِنَّمَا اَتَقَبَّلَ الصَّلاَةُ
مِمَّنْ تَوَاضَعَ بِهَا لِعَظَمَتِيْ وَلَمْ يَسْتَطِلْ عَلَى خَلْقِى وَلَمْ
يَبِتْ مُصِرًّا عَلَى مَعْصِيَتِيْ وَقَطَعَ النَّهَارَ فِيْ ذِكْرِيْ وَرَحِمَ
الْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالأَرْمِلَةَ وَرَحِمَ الْمُصَابَ (رواه
البزر)
“Bahwasannya Aku menerima
shalat hanya dari orang yang bertawadlu dengan shalatnya kepada keangungan-Ku
yang tidak terus-menerus berdosa, menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk
dzikir kepada-Ku, kasih sayang kepada fakir miskin, ibn sabil, janda serta
mengasihi orang yang mendapat musibah.” (HR. Al-Bazzar)
Pada hadits tersebut shalat diharapkan dapat
menghasilkan akhlaq yang mulia, yaitu bersikap tawadhu, mengagungkan Allah,
berdzikir, membantu fakir miskin, ibnu sabil, janda dan orang yang dapat
mendapat musibah. Selain itu shalat (Khususnya jika dilaksanakan berjamaah)
menghasilkan serangkaian perbuatan seperti kesehajaan, imam dan makmum
sama-sama berada dalam satu tempat, tidak saling berebut untuk menjadi imam,
jika imam batal dengan rela untuk digantikan yang lainnya, selesai shlat saling
berjabat tangan, dan seterusnya. Semua ini mengandung ajaran akhlaq.
Selanjutnya dalam rukun Islam yang ketiga,
yaitu zakat juga mengandung didikan akhlaq, yaitu agar orang-orang yang
melaksanakannya dapat membersihkan dirinya dalam sifat kikir, mementingkan diri
sendiri, dan membersihkan harta dari hak orang lain, yaitu hal fakir miskin dan
seterusnya. Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat zakat adalah untuk
membersihkan jiwa dan mengangkat derajat manusia ke jenjang yang lebih mulia.
Pelaksaan zakat yang berdimensi akhlaq yang
bersifat sosial ekonomis ini dipersubur lagi dengan melaksakan shadaqah yang
bentuknya tidak berupa materi tetapi juga non materi.
Begitu juga Islam mengajarkan ibadah puasa
sebagai rukun Islam yang keempat. Bukan hanya sekedar menahan diri dari makan
dan minum dalam waktu terbatas, tetapi dari lebih itu merupakan latihan menahan
diri dari keinginan melakukan perbuatan keji yang dilarang.
Selanjutkan rukun Islam yang kelima adalah
ibadah haji. Dalam ibadah haji ini pun dinilai pembinaan akhlaqnya lebih besar
dibandingkan dengan pembinaan akhlaq yang ada pada ibadah dalam rukun Islam
lainnya. Hal ini dipahami karena ibadah haji ibadah dalam Islam bersikap
komprehensif yang menuntut persyaratan yang banyak, yaitu disamping harus
menguasai ilmunya, juga harus sehat fisiknya, ada kemauan keras, bersabar dalam
menjalankannya dan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, serta rela
meninggalkan tanah air, harta kekayaan, dan lainnya. Hubungan ibadah haji
dengan pembinaan akhlaq ini dapat dipahami dari ayat yang berbunyi:
ٱلْحَجُّ
أَشْهُرٌ مَّعْلُومَٰتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا
فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ
ٱللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ
يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji,
Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. BerbekAllah,
dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai
orang-orang yang berakal”. (QS. Al- Baqarah [2]: 197)
Berdasarkan analisis yang didukung dalil-dalil
Al-Qur’an dan Al-Hadits tersebut di atas, kita dapat mengatakan bahwa Islam
sangat memberi perhatian yang besar terhadap pembinaan akhlaq, termasuk
cara-caranya. Hubungan antara rukun iman dan Islam terhadap pembinaan akhlaq
sebagaimana yang digambarkan yang diatas menunjukkan bahwa pembinaan akhlaq
yang ditempuh Islam adalah menggunakan berbagai sarana peribatan dan lainnya
secara simboltan untuk diarahkan ke arah pembinaan.
Cara lain yang dapat ditempuh untuk pembinaan akhlaq
ini adalah pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung secara
kontinyu. Berkenaan dengan ini Imam al-Ghazali mengatakan bahwa kepribadian
manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan melalui
pembiasaan. Jika manusia membiasakan berbuat jahat, maka ia akan menjadi orang
jahat. Untuk ini al- Ghazali menganjurkan agar akhlaq diajarkan, yaitu dengan cara
melatih jiwa kepada pekerjaan atau tingkah laku yang mulia. Jika seseorang menghendaki
agar ia menjadi pemurah, maka ia harus dibiasakan dirinya melakukan pekerjaan
yang bersifat pemurah, hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi bi’atnya
yang mendarah daging.
Dalam tahap-tahap tertentu, pembinaan akhlaq,
khususnya akhlaq lahiriyah dapat pula dilakukan dengan cara paksaan yang lama
kelamaan tidak lagi terasa dipaksa. Seseorang yang ingin menulis dan mengatakan
kata-kata yang bagus mislanya, pada mulanya ia harus memaksakan tangan dan
mulutnya menuliskan atau mengatakan kata-kata dan huruf yang bagus. Apabila
pembinaan ini sudah berlangsung lama, maka paksaan tersebut sudah tidak terasa
lagi sebagai paksaan.
Cara yang lain yang tak kalah ampuhnya dari
cara-cara diatas dalam hal pembinaan hal akhlaq ini adalah melalui keteladanan.
Akhlaq yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran, inturksi dan
larangan, sebab tabi’at jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup hanya
dengan seorang guru mengatakan ‘kerjakan ini dan jangan kerjakan itu!’. Menanamkan
sopan santun memerlukan pendidikan yang panjang dan harus ada pendekatan yang
lestari. Pendidikan itu tidak akan sukses, melainkan jika disertai dengan
pemberiaan contoh teladan yang baik dan nyata. Cara yang demikian itu telah
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Keadaan ini dinyatakan dalam ayat yang berbunyi:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ
وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
Selain itu pembinaan akhlaq dapat pula ditempuh
dengan cara senantiasa menganggap diri ini sebagai banyak kekurangannya
daripada kelebihannya. Dalam hubungan ini Ibn Sina mengatakan,”Jika seseorang
menghendaki dirinya ber-Akhlaq utama, hendaknya ia lebih dahulu mengetahui
kekurangan dan cacat yang ada dalam dirinya, dan membatasi sejauh mungkin untuk
tidak berbuat kesalahan, sehingga kecacatannya itu tidak terwujud dalam
kenyataan. Namun ini bukan berarti bahwa ia menceritakan dirinya sebagai orang
yang paling bodoh, paling miskin dan sebagainya di hadapan orang-orang, dengan
tujuan justru merendahkan orang lain.hal yang demikian dianggap tercela dalam Islam.
Pembinaan akhlaq secara efektif dapat pula
dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina.
Menurut hasil penelitian para Psikolog, bahwa kejiwaan manusia berbeda-beda
menurut perbedaan tingkat usia. Pada usia kanak-kanak misalnya lebih menyukai
hal-hal yang bersifat rekreatif dan bermain. Untuk itu ajaran akhlaq dapat
disajikan dalam bentuk permainan. Hal ini pernah dilakukan oleh para ulama’ di
masa lalu. Mereka menyajikan ajaran akhlaq lewat sya’ir yang berisi sifat-sofat
Allah dan Rasul, anjuran beribadah dan berakhlaq mulia, dan lain-lainnya.
Sya’ir tersebut dibaca pada saat menjelang dilangsungkannya pengajian, ketika
akan melaksanakan shalat lima waktu, dan acara-acara peringatan hari-hari besar
Islam.
C. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pembentukan Akhlaq
Untuk
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlaq pada khususnya
dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer. Pertama,
aliran nativisme. Kedua, aliran empirisme, dan ketiga, aliran konvergensi.
Menurut aliran
nativisme, bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri
seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa
kecendrungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan
atau kecendrungan yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut akan menjadi
baik.
Aliran ini
tampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia, dan
hal ini kelihatnnya erat kaitannya dengan pendapat aliran intuisisme dalam hal
penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan diatas. Aliran ini tampak
kurang menghargai atau kurang menghitungkan peranan pembinaan dan pendidikan.
Menurut aliran
Empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri
seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan
dan pendidikan yang diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan
kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian jika sebaliknya aliran
ini tampak lebih begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh pendidikan
dan pengajaran.
Dalam aliran
konvergensi berpendapat pembentukan akhlaq dipengaruhi oleh faktor internal,
yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dam pembinaan
yang dibuat secara khusus, atau malalui interaksi dalam lingkungan sosial.
Fithrah dan kecendrungan ke arah yang baik yang ada di dalam diri manusia
dibina secara intensif melalui berbagai metode.
Aliran yang
ketiga, yakni aliran konvergensi itu tampak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini
dapat dipahami dari ayat dan hadits di bawah ini,
وَٱللَّهُ
أَخْرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَجَعَلَ
لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan
Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan serta hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl [16]: 78)
Ayat tersebut
memberikan petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk di didik, yaitu
penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari. Potensi tersebut harus di syukuri
dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan. Hal ini sesuai pula dengan
yang dilakukan Lukmanul Hakim kepada anaknya sebagai terlihat pada ayat yang
berbunyi,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا
بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ وَوَصَّيْنَا
الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
di waktu itu memberi pelajaran kepadanya. ‘Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada
dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman [31]: 13-14)
Ayat tersebut
selain menggambarkan tentang pelaksaan pendidikan yang dilakukan Lukmanul
Hakim, juga berisi materi pelajaran dan yang utama diantaranya adalah
pendidikan tauhid dan keimanan, karena keimanan-lah yang menjadi salah satu
dasar yang kokoh bagi pembentukan akhlaq. Kesesuaian teori konvergensi tersebut
diatas, juga sejalan dengan hadits Nabi yang berbunyi,
كُلُّ مَوْلُدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ (رواه البخارى)
“Setiap anak yang dilahirkan dalam
keadaan (membawa) fithrah (rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran),
maka kedua orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau
Majusi.” (HR. Bukhari)
Ayat dan hadits
tersebut diatas selain menggambarkan adanya teori konvergensi juga menunjukkan
dengan jelas bahwa pelaksaan utama di dalam pendidikan adalah orang tua. Itulah
sebabnya orang tua, khususnya ibu mendapatkan gelar sebagai madrasah yakni tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan. Dan
di dalam hadis nabi banyak dijumpai anjuran agar banyak orang tua membina
anaknya. Selain itu ajaran Islam juga sudah memberi petunjuk kepada kedua orang
tua dalam pembinaan anak ini. Petunjuk tersebut misalnya dimulai dengan carpa
mencari calon atau pasangan hidup yang beragama, banyak beribadah pada seorang
ibu sedang mengandung anaknya, mengadzani pada kuping kanan dan mengqomati pada
kuping kiri, pada saat anak tersebut dilahirkan, memberikan makanan madu
sebagai isyarat perlunya amakan yang bersih dan halal, mencukur rambut dan
mengkhitannya sebagai lambang suka pada kebersihan, memotong aqiqah sebagi
syarat menerima kehadirannya, memberi nama yang baik, mengajarkan membaca
al-qur’an, beribadah terutama shalat lima waktu pada saat anak usia tujuh tahun,
mengjarkan cara bekerja di rumah tangga, dan mengawinkannya pada saat dewasa.
Hal ini memberi petunjuk tentang perlunya pendidikan keagamaan, sebelum anak
mendapatkan pendidikan lainnya. Abdullah Nasikh Ulwan mengatakan, pendidikan
hendaknya memperhatikan anak dari segi muraqabah Allah SWT yakni dengan
menjadikan anak merasa bahwa Allah selamanya mendengar dan pembicaraannya,
melihat gerak-geriknya, mengetahui apapun yang dirahasiakn dan yang dibisikkan
mengetahui penghianatan mata dan apa yang disembunyikan hati.
Jika pendidikan
diatas tekanannya lebih pada bidang akhlaq dan kepribadian muslim, maka untuk
pendidikan bidang intelektual dan keterampilandi lakukan di sekolah,
bengkel-bengkel kerja, tempat-tempat kursus, dan kegiatan lainnya yang dilakukan
masyarakat.
Adapun
faktor-faktor pengaruh dalam pembentukan perilaku Muslim itu sendiri yaitu :
1. Faktor Pembawaan Naluriyah (Gharizah atau Instink)
Sebagai makhluk
biologis, ada faktor bawaan sejak lahir yang menjadi pendorong perbuatan setiap
manusia. Faktor itu disebut dengan naluri atau tabiat menurut J.J Rouseau. Lalu
Mansur Ali Rajab menamakannya dengan tabiat kemanusiaan (Al-Tabi’ah
Al-Insaniyah). Ia menyetir pendapat Plato yang menyatakan bahwa tabiat
(bawaan) baik dengan bawaan buruk dalam diri manusia sangat berdekatan, karena
itu sering muncul perbuatan baiknya dan perbuatan buruknya. Lalu menyetir lagi
pendapat J.J Rouseau (1712-1778) dari Prancis dengan mengatakan, “Sesungguhnya
anak yang baru lahir memiliki pembawaan baik, lalu sifat buruknya muncul karena
pengaruh dari lingkungannya.”
Dengan pendapat
tersebut, dapat dikatakan bahwa kecendrungan naluriyah dapat dikendalikan oleh
akhlaq atau tuntutan agama sehingga manusia dapat mempertimbangkan
kecendrungannya apakah itu baik atau buruk. Gharizah atau nakuri tidak pernah
berubah sejak manusia itu lahir, tetapi pengaruh negatifnya yang bisa
dikendalikan oleh faktor pendidikan atau latihan. Karena faktor naluri ini
sangat berkait dengan nafsu (amarah dan muthmainnah). Maka sering ia dapat
membawa manusia kepada kehancuran moral, dan sering pula menyebabkan manusia
mencapai tingkat yang lebih tinggi, dengan kemampuan nalurinya tatkala naluri cenderung
kepada perbuatan baik, maka akal yang dituntut agam yang memberikan jalan
seluas-liasnya untuk lebih meningkatkan insentitas perbuatan itu. Maka
disinilah, perlunya manusia memiliki agama, sebagai pengendalian dan penuntut
dalam hidupnya.
2.
Faktor Sifat-sifat Keturunan (al-Wirathah)
Mansur Ali
Rajab mengatakan, bahwa sifat-sifat keturunan adalah sifat-sifat (bawaan) yang
diwariskan oleh orang tua kepada keturunannya (anak cucunya).
Warisan
sifat-sifat orang tua kepada keturunannya, ada yang sifatnya langsung
(mubasharah) dan ada juga yang tidak langsung (gairu mubasharah), misalnya
sifat-sifat itu tidak langsung turun kepada anaknya, tetapi dapat turun kepada
cucunya. Sifat-sifat ini juga kadang dari ayah atau ibu, dan kadang anak atau
cucu mewarisi kecerdasan (sifah al-‘aqliyah) dari ayahnya atau kakeknya, lalu
mewarisi sifat baik (sifah al-khuluqiyah) dari ibunya atau neneknya, atau
dengan sebaliknya.
Disamping
adanya sifat bawaan anak sejak lahir (naluri dan sifat keturunan), sebagai
potensi dasar untuk mempengaruhi perbuatan setiap manusia, dan juga faktor
lingkungan yang mempengaruhinya; misalnya pendidikan dan tuintunan agama.Faktor
ini, disebut faktor usaha (al-muktasabah) dalam ilmu akhlaq.Semakin besar
pengaruh faktor pendidikan atau tuntunan agama kepada manusia, semakin kecil
pula kemungkinan warisan sifat-sifat buruk orang tua dapat mempengaruhi sikap
dan perilaku anaknya.
Kemampuan ilmu
(kognitif), sikap kejiwaan yang baik (afektif) dan keterampilan yang didasari
oleh ilmu dan sikap baik manusia (psikomotorik) yang telah diperoleh dari
proses pendidikan dan tuntunan agama, termasuk kemampuan dan sifat-sifat yang
telah diusahakan oleh manusia (sifah al-Muktasabah). Maka disinilah peranan
orang tua di rumah tangga, guru disekolah, dan tokoh agama di masyarakat, untuk
membentuk manusia yang beragama, berilmu, dan berakhlaq mulia.
3.
Faktor Lingkungan dan
Adat Istiadat
Pembentukan akhlaq
manusia, saat ditentukan oleh lingkungan alam dan lingkungan social (faktor
adat kebiasaan), yang dalam pendidikan disebut dengan faktor Empiris
(pengalaman hidup manusia), terutama sekali dipelopori oleh John Lock.
Pertumbuhan dan
perkembangan manusia ditentukan juga oleh faktor dari luar dirinya yaitu faktor
pengalaman yang disengaja termasuk pendidikan dan pelatihan, sedangkan yang
tidak disengaja, termasuk lingkungan alam dan lingkungan social.Lingkungan alam
disebut “Al-biah” dalam ilmu akhlaq, sedangkan lingkunagn social disebut dengan
“al-adah dalam ilmu akhlaq.
Paham empirisme
ini, berkembang luas di dunia Barat, terutama di Amerika Serikat, yang menjelma
menjadi aliran behaviorisme dalam ilmu pendidikan. Sedangkan dalam ilmu akhlaq,
Mansur Ali Rajab mengemukakan pendapat J.J Rosseau yang mengatkan, bahwa faktor
dalam diri manusia, termasuk dalam pembawaannya, selalu membentuk akhlaq baik
manusia, sedangkan faktor dari luar, termasuk lingkunagna alam dan lingkungan
socialnya; ada kalanya berpengaruh baik, dan adakalanya berpengaruh buruk.
Ketika manusia lahir di lingkungan baik, maka pengaruhnya kepada pembentukan
akhlaqnya juga baik dan ketika ia lahir di lingkungan kurang baik maka
pengaruhnya juga menjadi tidak baik. Maka disinilah pendidikan dan bimbingan
akhlaq sangat diperlukan untuk membentuk dan mengembangkan akhlaq manusia.Ini
diakui oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin yang mengatakan :
Seandainya akhlaq manusia tidak dapat diubah maka tidak ada gunanya memberikan
pesan-pesan, nasehat-nasehat, dan pendidikan kepada manusia.
4.
Faktor Agama (Kepercayaan)
Agama bukan
saja kepercayaan yang harus dimiliki oleh setiap manusia, tetapi ia harus
berfungsi dalam dirinya untuk menuntun segala aspek kehidupanny; misalnya
berfungsi sebagai sistem kepercayaan, sistem ibadah, dan sistem kemasyarakatan
yang terkait dngan nilai akhlaq.
a)
Fungsi Agama sebagai Sistem Kepercayaan
Sistem
kepercayaan (al-Thiqah) dalam Islam tidak dapat dipisahkan dengan sistem ibadah
dan kemasyarakatan. Karena itu keberhasilan menanamkan pendidikan keimanan
terhadap manusia dapat diukur dengan amalan-amalan yang nyata; baik ucapan
maupun perbuatan. Karena itu Ibnu al-Qayyim mengatakan , bahwa iman atau kepercayaan
adalah nama sebuah niat, ucapan, dan perbuatan.
Agama sebagai suatu sistem kepercayaan maka ia harus selalu menjadi
pegangan dalam kehidupan spritual yanvg berbentuk ajaran keimanan dan
ketaqwaaan yang akan menjadi motivasi dan pengendali dalam setiap sikapdan
perilaku hidup manusia. Tatkala manusia mendapatkan kesenangan maka ia tidak
takabbur dan sombong, tetapi ia harus bersyukur kepada Zat yang memberikan
kesenangan itu, yaitu Allah. Dan ketika ditimpa kesusahan sebagai contoh cobaan
hidup baginya, maka ia tidak putus asa tetapi ia harus bersabar menerima
ketentuan Allah, dan berusaha mengatasinya.
b. Fungsi Agama sebagai sistem Ibadah
Ali bin Muhammad al-Jarjani mendefinisikan ibadah dengan mengatakan :
ibadah adalah perbuatan orang mukallaf yang berbeda dengan keinginan hawa
nafsunya, karena semata-mata mengagungkan tuhannya.
Sistem ibadah dalam Islam menurut pendapat tersebut meliputi ibadah mahdhoh (ritual); yaitu
ibadah yang terkait dengan hubungan hamba dengan tuhannya. Dan ibadah umum;
yaitu ibadah yang terkait antara hamba dengan sesama makhluk yang lain.
Agama sebagi suatu sitem ibadah maka ia memberikan petunjuk tentang tata
cara berkomunikasi dengan Allah yang disebut ibadah; baik ibadah dzikir, doa,
shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya. Ibadah doa dan dzikir tidak
ditentukan jumalah dan waktunya sedangkan shalat, zakat, puasa, dan haji telah
ditentukan waktu pelaksanaanya sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW in9
termasuk ibadah ritual sebagaimana tersebut diatas yang harus menjadi
fungsional dalam diri manusia maka dorongan-dorongannya sangat kuat untukl
selalu berkomunikasi dengan Allah baik dalam keadaan senang maupun dalam
keadaan susah. Tidak mengenal tempat dan waktu dimanapun ia berada, tetpa
selalu ingin dekat kepada tuhannya karena itu ia selalu beribadah kepada-Nya.
c. Fungsi Agama sistem Kemasyarakatan yang terikat dengan nilai akhlaq
Sebagaimana yang dikemukakan diatas, bahwa
ilmu akhlaq selalu berusaha menilai dan membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Maka setiap manusia yang berkomunikasi dengan sesamanya, dianjurkan
dalam agama agar selalu memilih penampilan diri dengan cara-cara yang baik.
Manusia sebagai makhluk sosial, ia merasa kesepian jika tidak bergabung
dnegan masyarakatnya. Dalam masalah ibadah pun, pergaulan dengan masyarakat
ditempatkan pada tingkatan yang sangat tinggi derajatnya oleh Allah, maka
dianjurkan melkukan shalat berjama’ah, dengan dijanjikan pahala yang berlipat
ganda menjadi 27 kali lebih banyak daripada shalat sendirian. Ini membuktikan
bahwa betapa tinggi nilainya pergaulan kemasyarakatan dalam agama sebagaimana
yang diterangkan oleh Mahmud Sayyid Sultan dalam pembahasannya yang berjudul
“al-Din nizamu al-Ijtima’i” (agam merupakan sistem kemasyarakatan).
Dalam pergaulan kemasyarakatan selalu diikat dengan suatu norma baik
norma akhlaq maupun norma kemasyarakatan. Norma akhlaq sangat universal
sifatnya karena bersumber dari agama yang dianutnya sedangkan norma
kemasyarakatan bersifat local dan kondisional karena bersumber dari adat.
Kebiasaan masyarakat setempat tentu saja norma kemasyarakatan harus tunduk
kepada norma akhlaq, tidak boleh bertentangan tetapi sifatnya harus
menjabarkan, menerangkan, dan menentukan nilai baik yang bersifat universal
dari nilai akhlaq yang dianutnya.
D. Manfaat Akhlaq
yang Mulia
Uraian tersebut
diatas lebih menggambarkan bahwa Islam menginginkan suatu masyarakat yang berakhlaq
mulia. Akhlaq yang mulia ini demikian ditekankan karena disamping akan membawa
kebahagiaan bagi individu juga sekaligus membawa kebahagiaan bagi masyakat pada
umumnya. Dengan kata lain bahwa akhlaq mulia yang ditampilkan seseorang,
manfaatnya adalah untuk orang yang bersangkutan.
Al-Qur’an dan Hadits
banyak sekali memberi informasi tentang manfaat akhlaq yang mulia itu.
Keberuntungan dari
akhlaq tersebut di antaranya:
1. Memperkuat dan menyempurnakan agama
Nabi bersabda:
اِنَّ اللهَ تَعَالَى إِخْتَارَ لَكُمْ
الإِسْلاَمَ دِيْنَا فَأَكْرِمُوهُ بِحُسْنِ الْخُلُقِ وَالسَّخَاءِ فَإِنَّهُ لاَ
يَكْمِلُ إِلاَّ بِهِمَا
“Allah
telah memilihkan agama Islam untuk kamu, hormatilah agama dengan aklaq dan
sikap dermawan karena Islam itu tidak akan sempurna kecuali dengan akhlaq dan
sikap dermawan itu”.
حُسْنُ الْخُلُقِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ
يَعْمُرَانِ الدِّيَارَ وَيَزِيْدَانِ فِي الاَعْمَارِ
“Berakhlaq yang baik
dan berhubungan dengan tetangga yang baik akan membawa keberuntungan dan
kemakmuran”.
Allah telah
memilihkan agama Islam untuk kamu, hormatilah agama dengan akhlaq dan sikap
dermawan, karena Islam itu tidak akan sempurna kecuali dengan akhlaq dan sikap
dermawan itu.
Berkenaan
dengan hadist tersebut almawardi mengatakan bahwa akhlaq yang mulia dan
bertetangga yang baik itu akan mendatangkan kemakmuran. Apa di jelaskan dalam
hadist tersebut secara logika dapat di terima, karena dengan akhlaq yang baik
akan menimbulkan kawan yang banyak dan di sukai orang, sehingga segala
kesulitan dapat di pecahkan dan peluang untuk mendapat rezeki dan
keberungtungan akan terbuka, mengingat rezeki itu datang melalui interaksi
dengan baik dengan orang lain.
2. Mempermudah perhitungan amal di Akhirat
Nabi bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ حَاسَبَهُ اللهُ
حِسَابًا يَسِيْرًا فَأَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ تُعْطِى مَنْ حَرَمَكَ وَ تَعْفُو
عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَتَصِيْلُ مَنْ قَطَعَكَ (رواه الحاكم)
“Ada tiga kemudahan
yang membawa kemudahan hisab (perhitungan amal di akhirat) dan akan dimasukkan
ke surge yaitu engkau pemberi sesuatu kepada orang yang tak perah memberi
apapun kepadamu (kikir), engkau memaafkan orang yang pernah menganiayamu, dan
engku menyambung tali silaturahim kepada orang yang tak pernah kenal kepadamu.”. (HR.Al-Hakim)
3. Menghilamgkan Kesulitan
Nabi bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه مسلم)
“Barang siapa melepaskan
kesulitan orang mu’min dari kehidupan nnya di dunia ini, maka Allah akan
melspaskan kesulitan orang tersebut para hari kiamat.” (HR. Muslim)
4. Selamat hidup di Dunia dan di Akhirat
Nabi bersabda:
ثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ :
خَشْيَةُ اللهِ تَعَالَى فِى السِّرِّ وَالْعَلاَنِيَةِ وَالْعَدْلُ فِى الرِّضَا
وَالْغَضَبِ وَالْقَصْلُ فِى الْفَقْرِ وَالْغِنَى
“Ada tiga perkara yang
dapat menyelamtkan manusia, yaitu takut kepada Allah di tempat yang tersembunyi
maupun di tempat yang terang, berlaku adil pada waktu rela maupun pada waktu
marah, dan hidup sederhana pada waktu miskin, maupun waktu kaya.” (HR.Abu Syaikh)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pembentukan
Akhlaq itu sama dengan tujuan pendidikan, karena banyak sekali pendapat para
ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlaq. Adapun
dari pembinaan akhlaq dapat pula dilihat dari perhatian Islam terhadap
pembinaan jiwa yang harus didahulukan dari pembinaan fisik, karena dari jiwa
yang baik akan lahir perbuatan yang baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan akhlaq tersebut terbagi menjadi tiga aliran, yaitu Nativisme,
Empirisme, dan Konvergensi. Maka, bila seseorang memiliki akhlaq yang mulia,
akan ada manfaat atau keuntungan dari akhlaq tersebut salah satunya yaitu selamat
hidup di Dunia maupun di Akhirat.
B. Kritik dan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, M.A, Prof. Dr. H. 2012. Akhlaq
Tasawuf. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Al-Qur’an Terjemahan